Perkembangan teknologi 3D Printing telah memberikan dampak besar dalam berbagai sektor, seperti industri, pendidikan, kesehatan, dan seni. Namun di sisi lain, teknologi ini juga menimbulkan tantangan baru dalam aspek hukum dan etika, khususnya terkait potensi penyalahgunaannya untuk mencetak objek-objek yang tergolong pornografi. Kemampuan 3D Printing dalam mereproduksi bentuk tubuh manusia secara detail, termasuk alat kelamin atau pose vulgar, menjadikan teknologi ini rentan digunakan untuk tujuan yang melanggar norma kesusilaan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara yuridis penyalahgunaan teknologi 3D Printing dalam konteks hukum pidana, dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan membuat atau menyebarluaskan objek pornografi hasil 3D Printing dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, karena memenuhi unsur subjektif dan objektif dalam kedua undang-undang tersebut. Meskipun demikian, masih terdapat kekosongan hukum yang perlu diisi agar regulasi bisa lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi digital. Oleh karena itu, dibutuhkan pembaruan kebijakan hukum yang lebih spesifik, tanpa menghambat inovasi yang bermanfaat dari teknologi 3D Printing.

Kata Kunci: 3D Printing, Objek Pornografi, KUHP, UU Pornografi, Penyalahgunaan Teknologi, Hukum Pidana.